Segala yang ada di dunia ini adalah fana dan tiada yang kekal, tapi
bukan berarti telah berakhir sampai disini. Tapi menuju ke alam
berikutnya yaitu hari akhir, suatu kehidupan yang kekal tiada berakhir.
Semua jiwa pasti akan kembali kepada pemilik dan penciptanya yaitu
Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Setelah ditiup sangkakala yang
kedua seluruh manusia dibangkitkan dari kuburan-kuburan mereka dalam
keadaan tidak membawa apa pun, tidak beralas kaki, tidak berbusana, dan
juga tidak berkhitan.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Aisyah, bahwa baginda Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Manusia akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan tidak beralas kaki, tidak berbusana, dan tidak berkhitan.” Kemudian Aisyah berkata: “Wahai Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam! Apakah seluruh para wanita dan laki-laki seperti itu, sehingga saling melihat diantara mereka? Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, yang artinya: “Wahai Aisyah! Kondisi waktu itu amat ngeri dari pada sekedar melihat antara satu dengan lainnya.” (HR: Al Bukhari no 6527 dan Muslim no. 2859)
Setelah
itu manusia dikumpulkan di padang mahsyar menanti penghisaban
(perhitungan) semua amal perbuatannya selama hidup di dunia. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya kepada Kami-lah mereka akan kembali, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami-lah menghisab mereka.” (QS: Al Ghasyiyah: 25-26)
Tahap penghisaban amal perbuatan manusia dipadang mahsyar merupakan bagian adzab dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala terhadap siapa yang dihisap pada hari itu. Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam besabda, yang artinya: “Barangsiapa
yang dihisab pada hari kiamat bararti dia telah merasakan adzab.”
Aisyah berkata: “Wahai Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bukankah
Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya): “(Adapun
orang yang diberikan kitabnya dari sebelah kanan) maka dia akan dihisab
dengan hisab yang mudah.”(QS: Al Insyiqaq: 8) Rasululloh
Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Sesungguhnya itu adalah sekedar
memperlihatkan amalannya, tetapi barangsiapa yang diperiksa
penghisabannya pada hari kiamat berarti dia telah merasakan adzab.” (HR: Muslim no. 2876)
Pada hari penghisaban saja sangat mengerikan dan tersiksa. Bagaimana lagi dengan bentuk adzab dari Alloh Subhanahu wa Ta’ala di neraka jahannam nanti. Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam telah menggambarkan tingkatan neraka yang paling ringan, sebagaimana dalam hadits yang shahih, yang artinya: “Sesungguhnya
adzab yang paling ringan bagi penghuni neraka adalah seseorang yang
bersandalkan dengan api neraka, maka mendidihlah otaknya disebabkan dari
panas kedua sandalnya.” (HR: Muslim no. 211)
Namun Alloh Subhanahu wa Ta’ala Al
Ghaffur (Yang Maha Pengampun) dan Ar Rahim (Yang Maha Pengasih) telah
membentangkan rahmat-Nya yang amat luas. Diantara rahmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala telah
memberikan petunjuk kepada manusia tentang jalan yang dapat
mengantarkan ke dalam al janah tanpa hisab dan adzab. Jalan tersebut
telah dijelaskan oleh Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam dalam haditsnya, yang artinya: “Akan
masuk al jannah dari umatku tujuh puluh ribu tanpa hisab dan adzab
(dalam riwayat lain; wajah-wajah mereka bercahaya bagaikan cahaya
rembulan di bulan purnama).” Kemudian Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi
Wasallam berdiri dan masuk ke dalam rumah. Sementara para shahabat
Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam menduga-duga siapakah golongan
mereka itu. Diantara para shahabat ada yang menduga; “Semoga mereka
adalah orang-orang yang menjadi shahabatnya”. Yang lainnya mengira;
“Semoga mereka adalah orang-orang yang lahir dalam keadaan Islam dan
tidak pernah berbuat kesyirikan”, dan perkiraan-perkiraan yang lainnya.
Kemudian Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam keluar dari rumahnya
dan mengkhabarkan sifat golongan yang bakal menjadi penghuni al jannah
tanpa hisab dan adzab. Beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
yang artinya: “Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meminta kay
(praktek pengobatan dengan menempelkan besi panas atau semisalnya pada
bagian tubuh yang sakit), tidak meminta ruqyah, dan tidak pula
berfirasat sial (dengan sebab melihat sesuatu yang disangka ganjil
seperti burung dan semisalnya), serta mereka bertawakkal penuh kepada
Rabb mereka.” Kemudian Ukasyah bin Mihshan berdiri seraya berkata:
“(Wahai Rasululloh) berdo’alah kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala supaya
aku termasuk golongan mereka. Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam
bersabda: “Engkau termasuk dalam golongan tersebut”. (HR: Al Bukhari no. 5752 dan Muslim no. 374)
Dalam riwayat Al Imam Ahmad 2/359 dan lainnya, Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Maka aku meminta tambahan dari Rabb-ku, sehingga Alloh menambah dalam setiap seribu orang bersama tujuh puluh ribu orang.” (Lihat Ash Shahihah no. 1486)
Dalam riwayat di atas menunjukkan luasnya rahmat Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Karena Alloh telah menambah dalam setiap seribu orang bersama tujuh
puluh ribu orang. Demikian pula Alloh tidak mengkhususkan yang berhak
meraih keutamaan tersebut hanya bagi para shahabat Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam atau
orang yang yang lahir dalam keadaan Islam dan tidak pernah berbuat
kesyirikan sebagaimana yang dikira para shahabat Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam. Namun Alloh Subhanahu wa Ta’ala membuka
lebar-lebar pintu rahmat kepada siapa yang berupaya menghiasi dirinya
dengan sifat-sifat tersebut dia lah yang berhak meraih al jannah tanpa
hisab dan tanpa adzab. Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kita termasuk golongan mereka.
Ciri Ciri Golongan Penghuni Al Jannah Tanpa Hisab Dan Adzab
Pertama: Tidak Meminta Kay
Kay adalah praktek pengobatan dengan cara menempelkan besi atau semisalnya yang telah dipanaskan pada bagian tubuh yang sakit.
Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Penyembuhan
itu dengan tiga hal: minum madu, berbekam, dan kay, tetapi aku
melarang umatku dari pengobatan kay. (Dalam riwayat lain; Dan aku tidak
mencintai pengobatan dengan kay)” (HR: Al Bukhari no. 5680)
Hadits-hadits
di atas menunjukkan hukum pengobatan dengan kay adalah boleh tapi
makruh (dibenci), sehingga yang lebih utama adalah ditinggalkan. Karena
Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam mencintai umatnya
untuk meniggalkan pengobatan dengan cara kay. Terlebih lagi berobat
dengan kay bisa menjadi penghalang untuk masuk ke dalam Al Jannah tanpa
hisab dan adzab.
Kedua: Tidak Meminta Ruqyah
Ruqyah
adalah praktek pengobatan dengan membacakan ayat-ayat Al Qur’an atau
nama-nama dan sifat-sifat-Nya kepada si penderita. Karena seluruh
ayat-ayat Al Qur’an itu sebagai obat hati dan jasmani. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan Kami menurunkan Al Qur’an itu sebagai obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS: Al Isra’: 82)
Namun yang menjadi penghalang untuk masuk bagian dari golongan penghuni al jannah tanpa hisab dan adzab ini khusus
bagi orang yang meminta ruqyah bukan yang meruqyah dirinya sendiri
ataupun orang lain yang meruqyahnya tanpa ada unsur permintaan darinya. Adapun kalau dia sendiri meruqyah itu memang perkara yang lebih utama, karena dia telah bertawakkal penuh kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan menjauhkan dirinya dari bergantung kepada selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Demikian pula orang lain yang meruqyah tanpa unsur permintaan dari si
penderita itu pun tidak mengapa. Karena konteks hadits itu adalah yang
bermakna “Tidak Meminta Ruqyah”.
Sesungguhnya malaikat Jibril pernah datang kepada Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam lalu berkata, yang artinya:
“Wahai Muhammad, apakah engkau lagi sakit? Rasululloh Shallallaahu
‘Alaihi Wasallam menjawab: Ya. Kemudian malaikat Jibril meruqyahnya
tanpa permintaan dari Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam.” (HR: Muslim no. 2186)
Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam juga pernah ditanya tentang meruqyah, maka beliau Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, yang artinya: “Barangsiapa diantara kalian yang dapat memberikan manfaat bagi saudaranya, maka lakukanlah.” (HR: Muslim no. 2199)
Ketiga: Tidak Bertathayyur
Tathayyur
adalah sikap berprasangka sial yang disandarkan kepada sesuatu yang
dilihat atau pun yang didengar. Misalnya, kebiasaan orang Arab
terdahulu bila hendak safar (berpergian) melihat arah terbangnya
burung. Bila terbang ke arah kanan maka safar akan dilakukan,
sebaliknya bila terbang ke arah kiri menujukkan kesialan maka safar
dibatalkan. Begitu pula ada sebagian orang yang menganggap sial atau
pertanda akan ada musibah bila mendengar suara burung gagak di malam
hari atau bila melihat cecak jatuh. Diantara waktu-waktu, hari-hari,
atau bulan-bulan pun ada yang dianggap sial untuk diselengarakan
acara-acara tertentu. Dan sebagainya dari tanda-tanda yang dianggap sial
yang tersebar dimasyarakat kita.
Tathayyur ini merupakan
perbuatan terlarang. Karena telah menyandarkan kesialan kepada sesuatu
yang sama sekali tidak ada hubungannya secara logis dan sebab
musababnya. Termasuk aqidah kaum muslimin beriman kepada taqdir Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini tarjadi atas kehendak Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata. Bila Alloh Subhanahu wa Ta’ala menghendaki sesuatu pasti akan terjadi, dan sebaliknya bila Alloh Subhanahu wa Ta’ala
tidak menghendaki sesuatu pasti tidak akan terjadi. Sehingga orang yang
bertathayyur itu telah mengurangi nilai tawakkalnya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala karena ia menyangka bahwa ada selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang bisa mendatangkan kesialan.
Padahal Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu merupakan taqdir Alloh, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya.” (QS: Al A’raf: 131)
Keempat: Bertawakal Kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala
Bahwa
sifat yang keempat ini merupakan buah dari tiga sifat sebelumnya.
Maksudnya, dengan meninggalkan pengobatan kay, meninggalkan untuk
meminta ruqyah dan meninggalkan tathayyur menunjukkan kemurnian
tawakkal seseorang kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Karena seseorang tersebut telah melepas dari segala ikatan-ikatan ketergantungan kepada sesuatu selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan menyandarkan nasib dan hasilnya itu hanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga barangsiapa yang benar-benar bertawakkal kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, niscaya Alloh Subhanahu wa Ta’ala
sebagai pencukupnya di dunia dan di akhirat kelak nanti akan
digolongkan sebagai pewaris Al Jannah tanpa hisab dan tanpa adzab. Alloh
Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Barangsiapa yang bertawakkal kepada Alloh, maka Dia sebagai pencukup baginya.” (QS: Ath Thalaq: 3)
Perlu
kita pahami disini, bukan berarti Islam melarang untuk berobat.
Sesungguhnya sifat penghuni Al Jannah tanpa hisab dan adzab itu karena
mereka meninggalkan pengobatan yang dibenci (makruh) disaat sangat
membutuhkannya dengan mencukupkan dirinya untuk bertawakkal hanya kepada
Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Adapun berobat dengan sesuatu yang tidak dilarang maka tidak mengurangi tawakkal kita kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Ada seseorang yang bertanya kepada Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam: “Wahai
Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam bolehkah aku berobat?
Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam seraya menjawab: “Tentu, wahai
hamba Alloh berobatlah kalian. Karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala tidak
menciptakan penyakit melainkan pasti diciptakan pula obatnya, kecuali
satu penyakit.” Kemudian para shahabat bertanya: “Apa itu (Wahai
Rasululloh Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam) Rasululloh Shallallaahu
‘Alaihi Wasallam menjawab: “Penyakit pikun (karena ketuaan).” (HR: Ahmad, dishahihkan Asy Syaikh Al Albani dalam Ghayatul Maram hal. 147). Semoga kita termasuk sebagai hamba Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang berkesempatan dan diberikan hidayah serta kekuatan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala; untuk menjadi Penghuni-Penghuni Al Jannah Tanpa Hisab dan Adzab. Amien….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar