Mengenai Saya

Foto saya
Ketika sebuah kalimat yang keluar dari mulut tak bisa didengarkan oleh orang lain. Maka Menulislah, disitu Anda akan dikenang sepanjang usia Anda, karena mungkin kata-kata yang keluar dari mulut tak bisa mengubah seseorang, tetapi tulisan yang dibaca berulang bisa menjadi pengaruh untuk seseorang. Maka Menulislah!

Minggu, 28 Oktober 2012

Suka Duka Menulis


Salah satu hobi yang telah mendarah daging didalam jiwa dan nafasku adalah menulis, karena menulis merupakan salah satu kegiatan yang simplenya bisa dilakukan oleh semua kalangan. Selain itu, menulis juga dapat masuk ke berbagai dunia seperti dunia politik, budaya, komunikasi, informasi, kedokteran, kesehatan dan sebagainya. Satu hal yang tak pernah aku sadari selama menciptakan berbagai tulisan baik fiksi maupun non fiksi adalah ‘menulislah bagai air mengalir’, karena setiap aku menulis, aku selalu flashback membaca ulang tulisan tersebut dari awal tanpa menunggu semua tulisan yang keluar dari pikiran aku dituangkan secara keseluruhan karena aku ingin menciptakan tulisan yang sempurna. Tetapi karena telah melalui berbagai proses pembelajaran, aku pun mulai mengerti bahwa jika ingin menulis sesuatu janganlah berhenti ditengah jalan tetapi diselesaikan terlebih dahulu. Selain itu, bukankah di dunia ini kesempurnaan hanya milikNya?
Pernah suatu ketika saat aku masih duduk dibangku Sekolah Menengah Atas tingkat pertama, aku mengikuti perlombaan Karya Ilmiah Siswa yang merupakan salah satu kegiatan menulis non fiksi, dan ketika aku mencoba menuangkan segala isi dari pikiranku melalui sebuah tulisan non fiksi tersebut, dan aku menyerahkan hasil tulisan Karya Ilmiah tersebut kepada pembimbingku, seketika itu pula dia melakukan hal yang tidak aku duga yaitu mencoret sebagian lebih dari tulisanku. Hal itu sangat menohok hatiku yang menyangka bahwa hasil dari tulisanku akan diberikan apresiasi tinggi olehnya, tapi ternyata nihil. Semenjak kejadian itu, aku selalu membaca ulang tulisan aku tanpa menyelesaikan tulisan aku terlebih dahulu. Tetapi setelah melalui beberapa proses pembelajaran mengenai tulisan non fiksi, ternyata wajar saja pembimbingku melakukan hal itu, karena untuk menulis sebuah karya non fiksi membutuhkan sebuah data pendukung yang dapat memperkuat hasil tulisanku, dan hal tersebut tidak aku lakukan pada saat itu. Terima kasih untukmu pembimbingku J
Hal tersebut telah menjadi kenangan terindah dimasa awal aku mulai menuai tulisan non fiksi. Selain itu, pengalaman berharga mengenai tulis menulis yakni saat aku duduk di bangku SMA pula dan telah naik tingkat, aku mengikuti perlombaan Bahasa Indonesia yakni mengarang tulisan non fiksi pula tetapi bukan berupa karya ilmiah, melainkan berupa artikel. Saat itu, akupun menerapkan segala pembelajaran yang telah diberikan oleh guru pembimbingku. Sebelum perlombaan tersebut terselenggara, aku mencari tahu lebih banyak mengenai apa yang ingin aku tulis nanti saat perlombaa tiba. Saat itu aku menulis sebuah artikel mengenai gap antara Sekolah Bertaraf Internasional dan Sekolah Standar Nasional. Dan saat yang paling menegangkan pada perlombaan itupun telah terlalui dengan hasil yang memuaskan, aku mendapat juara dan berhasil menuju tingkat perlombaan selanjutnya J
Waktupun terus bergulir, akhirnya akupun mulai tertarik dengan dunia tulis menulis. Tetapi saat aku mulai jatuh hati dengan dunia tulis menulis tersebut, aku menerima sebuah judgement yang sedikit melunturkan rasa cinta itu. Setiap tulisan yang aku hasilkan diberikan kata-kata yang tidak mengenakan oleh orang-orang terdekat aku terutama oleh keluarga aku, mereka mengatakan bahwa dunia tulis menulis tidak ada gunanya, hanya mengajarkan kita menjadi orang yang malas dan menjadikan orang yang menutup diri dari segala perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Sejak saat itu, jika aku mengikuti perlombaan tulis menulis, aku tidak pernah memberitahu kepada keluargaku terutama kepada orang tuaku. Hingga pada suatu waktu, berkat suatu tulisan aku yang mungkin masih jauh dari sempurna itu, aku dapat pergi ke Kota Jogjakarta untuk pertama kalinya, dan saat itu orang tuaku menyertai pelepasan aku untuk pergi ke Kota Pelajar itu. Aku sangat senang sekali, saat pelepasan itu terjadi orang tua aku menangis haru dengan senyum yang terlukis diwajahnya. Saat berada di bus, aku menangis sambil melihat foto orang tuaku karena akau akan meninggalkan beliau dalam kurun waktu yang lama. Semenjak itupun, orang tuaku mulai membuka hati untuk merelakanku berkutat dengan dunia tulis menulis.
Sejak duduk dibangku kuliah, hobi itupun semakin merambah didalam diriku. Aku mulai mencoba untuk membuat tulisan fiksi karena terlalu seringnya aku hanya menjadi pembaca dari novel-novel best seller membuatku berkeinginan seperti mereka yang berhasil membuat tulisan fiksi fenomenal. Bulan demi bulanpun berlalu, dan tulisan novel yang saya ciptakan dengan judul ‘Runtuhnya Tembok Penghalang Surga’ itu hampir selesai dengan baik. Saat itu, teman saya meminjam flashdisk saya yang berisi softcopy novel tersebut dan ternyata hilang karena dia lupa meletakkannya dimana. Sedih sekali saat itu, dan sayapun tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya saya sedikit demi sedikit melupakan keinginan saya untuk menciptakan sebuah novel karena kesibukan kuliah pula yang dari hari ke hari semakin padat.
Ternyata jalan yang aku tempuh yakni melupakan untuk tidak menciptakan tulisan fiksi itupun tidak berhasil, karena hobiku membaca novel yang terus mendesak untuk dapat membuat suatu karya yang dapat dikenang menjadi salah satu faktor dari ketidakberhasilan untuk melupakan hal tersebut. Akupun mulai lagi menulis fiksi tetapi berupa cerita pendek yang dikemas seperti konsep softcopy novel yang telah lenyap bersama flashdisk. Saat itu, aku berinisiatif untuk membuat sebuah blog untuk menyimpan berbagai tulisan cerpenku, dan akupun senang ternyata ada orang yang mengunjungi situs blogku dan berbagai komentar diberikannya. Aku juga pernah memosting tulisan fiksi berupa cerpen di facebookku yang berjudul ‘Runtuhnya Tembok Penghalang Surga’ dan banyak jempol yang menghiasi cerpenku, banyak komentar pula yang hinggap di postingan cerpenku.
Waktu terus bergulir, hingga akhirnya waktupun mempertemukanku kepada seseorang yang dapat membantu diriku untuk menemukan wadah dari dunia tulis menulis. Aku diajak untuk bergabung dalam suatu Forum, yakni Forum Lingkar Pena. Sejak saat itu, aku bertambah jatuh cinta dengan dunia tulis menulis. Terima kasih untuk mba Endang J

Kota 'Sial'


Malam ini langit tampak bertaburan dengan bintang dan cuacapun mendukung insan-insan yang dapat tidur dengan nyenyak di kasurnya yang empuk. Sepertinya langit memang tak bersahabat denganku, karena tak merasakan kepedihanku dimalam yang menurutku tak punya hati ini, aku masih termenung di depan sebuah toko yang telah tutup dari satu jam yang lalu. Hanya terdiam tanpa suara, hanya angin dan debu yang menemaniku dimalam yang sial ini.
Lagi-lagiku menyesali ketidakadilan hidup dimuka bumi ini, seandainya aku dihadapkan pada pilihan saat ini yaitu hidup atau tak diciptakan sama sekali, pasti aku lebih memilih untuk tidak diciptakan di dunia yang penuh dengan sandiwara dimana-mana. Aku benci panggung sandiwara yang menghadapkan peran yang sial untuk diriku ini. Tapi apalah daya, hidup dijaman yang bebas berpendapat, ya memang bebas berpendapat tapi tak pernah didengar pendapat kita oleh mereka yang seharusnya mendengar pendapat kita. Kejam memang, tapi inilah hidup di kota metropolitan yang penuh dengan kesesakan dimana-mana, sesak akan himpitan ekonomi, sesak akan himpitan sosial, sesak akan himpitan politik dan sesak-sesak yang lain.
Mungkin mereka tak akan pernah peduli dengan kehidupanku, tapi mengapaku selalu peduli dengan kehidupan mereka. Yang aku pedulikan adalah ‘mengapa mereka tidak peduli terhadapku’? tapi nampaknya tak ada yang bisa mempedulikanku, mereka yang kuanggap bisa sekalipun tak pernah melakukannya kepadaku. Aku benci kehidupan ini, ya sangat benci! Mengapa Dia memberikan takdir yang tak baik terhadap diriku? Harus mencari serpihan hidup dipinggir jalan dan membiarkan mereka yang terus menikmati jatahku dikursi empuk.
Mengharapkan sesama manusia memang tak ada gunanya, malah aku terus merasakan kekecewaan yang mendalam karena harapan yang tak pernah ada hasilnya. Tak pernah kurasakan memegang nominal uang lebih dari sepuluh ribu? Bayangkan? Merasakan memegangnya saja ku tak pernah! Memang sangat sial hidupku ini, dan yang lebih sialnya lagi adalah aku hidup di Kota yang Sial! Kota dimana setiap nafas yang melewati kaum jelata tak pernah memperhatikan sedikitpun keadaan kami, aku merasakan kepedihan teman-temanku. Sedikit bersyukur mungkin, mengapa? Karena aku masih bisa memberikan kebahagiaan kepada mereka yang memiliki nasib yang tak jauh beda denganku. Aku memang sedikit bersyukur! Karena tak ada yang mempedulikanku dan menjelaskanku apa itu bersyukur. Yang ku tahu bersyukur itu adalah mengucap ‘alhamdulillah’. Dasar memang hidupku yang sial dan akan selalu sial.
Hidup tanpa kasih sayang orang tua menambah kesialan dan penyesalanku ada di dunia ini. Aku meratapi nasibku yang tak ayal setiap hari yang kulakukan hanya itu dan itu. Aku telah lelah, rasanya ingin kutemui Tuhan yang memberikan nasib yang tak baik untuk diriku. Apa yang harus kulakukan untuk menemukan ketidaksialan itu? Apakah harus memakan jatah orang lain? Apakah harus menindas kaum bawahan? Ataukah harusku bertemu dengan pemilik dunia? Rasanya tak mungkin, karena hingga detik ini saja aku masih bisa bernapas dengan bebas tanpa ganggungan dari paru-paruku.
Mungkin Tuhan tak akan pernah memberikan penghidupan yang layak untuk diriku yang hina dan penuh dengan dosa, tapi apakah salah bahwa aku sangat memimpikan bisa mendapati kedudukan yang dapat membuatku nyaman dan tak banyak bertanya tentang ketidakadilan ini. Siapakah yang dapat menuntunku untuk mendapatkan keberuntungan? Mungkin dengan bermain kartu dengan taruhan uang yang banyak, lalu dengan keberuntungan itu aku akan menjadi kaya? Mungkin! Dasar kota Sial!