“Ibu.. hari ini masak apa? Aku sudah lapar nih…”
celoteh Riska membuar Ibu menoleh sejenak dari kesibukannya di dapur.
“Hari
ini Ibu masak sayur lodeh dan tempe goreng Nak. Tunggu saja ya, sebentar lagi
masakannya matang nih” sambil mengaduk-aduk sayur lodeh yang ada di panci
tiba-tiba Riska telah bergelayutan di samping Ibunya dan membuat Ibunya sedikit
kegok.
“Sayang..
ayo duduk dulu. Ibu tak bisa memasak kalau kamu bergelayutan seperti itu.”
Pagi
itu langit tampak cerah, semilir air membelai wajah setiap insan yang berada di
tepi pantai itu. Semerbak bau asin yang berasal dari pantai tercium menyengat.
Ibu Niar—Ibu dari anak dua bersaudara ini—Riska dan Ratih, bersiap-siap untuk
menemani suaminya—Pak Umar, bernelayan di pagi hari itu. Keluarga mereka
merupakan keluarga yang bermatapencaharian sebagai nelayan.
Hari
ini laut Nampak bersahabat, cuacapun mendukung laut untuk bersahabat dengan
setiap insan yang tengah melakukan aktivitas di sekitar laut. Kota Meulaboh,
merupakan salah satu kota yang berada di tepi laut. Disana terdapat banyak
desa, salah satunya adalah desa Tenggulung—desa yang menjadi habitat keluarga
Pak Umar.
“Ayah…
kapan ya kita bisa makan enak? Aku ingin sekali rasanya hasil tangkapan ikan
Ayah kita makan untuk malam ini saja.” Ratih memecahkan kesibukkan ayahnya
dalam mempersiapkan alat-alat untuk menangkap ikan. Anak pertama dari
pernikahan Pak Umar dan Bu Niar ini memang sejak lama ingin sekali mencicipi
hasil tangkapan ikan Ayahnya. Tapi dia menyadari bahwa jika ikan hasil
tangkapan Ayah tidak dijual, maka dari mana dia dan adiknya bisa bersekolah.
“Nak…
sabar ya. Kalau sudah rejeki kita pasti bisa makan ikan, tidak usah makan sayur
dan tahu atau tempe goring lagi. Kamu sabar ya Sayang..” Ayahnya membelai
lembut kepala anaknya itu.
Tak
lama setelah ayahnya selesai menyiapkan peralatan untuk bernelayan, tiba-tiba
terdengar suara teman bernelayannya—Pak Imam.
“Pak
Umar… Pak Ummaaarrrrr… Pak Umaarr keluarlah cepat”
“Iya
Pak ada apa?” Pak Umar tergopoh-gopoh berlari menuju sumber suara yaitu di
bibir pintu yang segera menunjukkan batang hidungnya agar Pak Imam tidak
berdendang dengan suaranya yang sudar mulai bergetar karena dimakan usia.
“Ayo
Pak cepat kita ke tepi pantai, disana banyak ikan. Kita tak perlu bersusah
payah untuk mencari ikan ke tengah laut. Ayo Pak Umar cepat!” tanpa
mendengarkan konfirmasi dari Pak Umar, Pak Imampun segera mengambil langkah
seribu.
“Bu…
Ibu… ayah pergi dulu ya. Ibu tunggu sini saja ya. Ayah tak akan lama bernelayan
hari ini. Jadi lebih baik Ibu beres-beres rumah saja.” Pak Umar pun pamit
setelah mencium kening sang istri.
“Ayah
hati-hati yaaaa…” setelah anak-anaknya mencium tangan Ayahnya itu, Ayahnya pun
pergi.
“Assalamu’alaikum…”
“Wa’alaikumsalam
warohmatullah…”
Setiap
langkah yang ditempuh oleh Suaminya Bu Niar itu, nampaknya terasa berat sekali.
Terlihat dari raut wajah Pak Umar. Saat telah menempuh beberapa langkah, dia
menengokkan kepalanya untuk melihat keadaan rumah dan keluarganya lalu
melemparkan senyum yang paling indah.
Setelah
melambai-lambaikan tanganya ke Suaminya itu, Ibu Niarpun masuk ke dalam rumah.
Karena hari itu hari libur, maka Ibu Niar dan anak-anaknya berkumpul di dalam
rumah dan merasakan hari libur dengan sukacita.
Entah
mengapa hari itu dia Nampak cemas melepaskan kepergian Suaminya. Mungkin karena
tak biasanya Suaminya pergi bernelayan seorang diri. Setelah menghilangkan
segala pikiran negative mengenai Suaminya itu, Ibu Niarpun melanjutkan
pekerjaan rumahnya.
***
Hari
ini tepatnya tanggal 26 Desember, 2004.
Suasana keceriaan benar-benar
tergambarkan di Desa Tenggulung, Meulaboh. Anak-anak berlari-larian di tepi
pantai dengan telanjang kaki. Pasar yang biasa menjadi tempat Ibu Niar dan
Suaminya berjualan ikan juga sudah Nampak ramai dengan transaksi tawar-menawar.
Ternyata
keceriaan itu tidak bertahan lama, tiba-tiba bumi terguncang. Semua anak-anak
menjerit ketakutan. Suara gemuruh menambah kepanikan dipagi hari yang telah
berselimut dengan ketakutan. Gemuruh itu semakin terasa di telinga yang membuat
telinga semakin sakit. Suara tangis mulai terdengar dari setiap nafas.
Awan
hitam pekat pun mulai menyelimuti kota Meulaboh. Gempa itu masih terasa sangat
kencang dan telah sukses menghancurkan beberapa rumah. Tangisan anak kecil yang
dikarenakan tak bertemu dengan Ibunya menambah ketegangan suasana pada waktu
itu. Jeritan, tangisan, teriakan, semua menjadi satu. Pohon-pohon seakan tak
mau menerima kedatangan insan yang menumpanginya, pohon it uterus
menggoyang-goyangkan tubuhnya karena gempa yang benar-benar hebat.
Setelah
sepuluh menit berlalu, gempa itupun terhenti. Nafas lega telah terdengar di
setiap hembusan. Ibu Niar masih dalam keadaan mendekap kedua anaknya itu. Dia
benar-benar tak bisa tenang karena memikirkan Suaminya yang masih dalam keadaan
mencari nafkah.
Sekitar
beberapa menit setelah itu, air laut menyurut seakan kering karena sinar
matahari. Gempa yang telah membuat panik segelintir orang itu cukup membuat
semua nafas terasa takut. Tetapi ketakutan itu telah surut kembali setelah
melihat sanak saudara telah berada di dekat mereka.
Ikan-ikan
terus bergelimpangan tak tentu di pasir pantai. Nelayan-nelayan masih sibuk
memunguti ikanikan itu karena tak usah bekerja sampai larut malam untuk
mendapatkan banyak ikan.
Tiba-tiba
air laut memuntahkan isi perutnya dengan tatapan sinis ke setiap insan yang
berada di tepi laut itu. Air menyapu segala yang ada dihadapannya.
“Ayaaaaaaaahhhhhhhhh….”
Nampak teriakan Ibu Niar terngiang di telinga Suaminya—Pak Umar yang telah
tidak tersadarkan. Gempa dan tsunami berkekuatan 8.3 SR telah menyapu dan
meratakan semua yang ada di wilayah Meulaboh dan sekitarnya. Ibu Niar dan kedua
anaknya telah melindungi diri didalam masjid besar yang telah menampung banyak
orang itu.
***
Tsunami
telah berakhir. Masjid yang menjadi pelindung dari banyak insan itu masih tetap
berdiri kokoh. Subhanallah! Tangisan masih terdengar, rintihan karena luka yang
didertia tak seberapa sakitnya disbanding kehilangan sanak saudara.
“Ibu..
ayah mana Bu?” Tanya si kecil Riska yang masih bingung karena baru terbangun
dari tidur lelapnya di gendongan Ibunya itu. Setelah sarapan pagi tadi, Riska
terlelap.
“Ibu..
kenapa ka Ratih nangis Bu? Kok disini banyak orang sih Bu? Bu? Kenapa pada
nangis sih Bu? Ibu kenapa?” ocehan si kecil membuat Bu Niar menyinggungkan
senyuman kecil nan perih itu.
“Gak
ada apa-apa kok Nak, tadi gimana tidur kamu?” Bu Niar menahan tangis dan
beusaha untuk tidak membuat anaknya takut karena keadaan yang tealh menimpa
sekeluarga.
“Udah
deh de! Kamu diam dulu kenapa sih?!” Ratihpun buka mulut karena melihat tingkah
adiknya yang polos itu.
“Ratih!”
ibu Niar membentak anaknya itu sambil memelototi anak sulungnya itu.
“Ibu..
ka Ratih kok jadi galak sih?” Riska mengumpat dibalik badan Ibunya itu.
***
Malam
itu terasa sepi karena disamping Ibu Niar sudah tak Nampak Suaminya. Ternyata
senyuman yang dilemparkan Suaminya tadi pagi adalah senyuman terakhir. Ratih
pun Nampak menyendiri, dia merasa bersalah karena permintaannya tadi pagi.
Ratih pun beranjak untuk pergi ke laut.
“kamu
mau kemana Nak?” Ibu Niar memerhatikan anaknya yang hendak pergi.
“Ibu
disini saja, aku mau mencari Ayah..”
“Sayang..
istirahat dulu, kamu pasti capek dan pusing. Sudah biar timsar yang akan
mencari Ayah. Sudah ya.. kamu sini sama Ibu” sambil mengajak anaknya menuju
tenda evakuasi, tetapi Ratih menolak dan bersikeras untuk mencari Ayahnya.
Akhirnya Ibunyapun mengizikan anaknya itu.
Dalam
keheningan malam, Ratih masih menangis dalam diam. Tangis yang begitu pilu.
Hembusan semilir angin Nampak membuat Ratih bertambah sedih. Selain bermaksud
untuk mencari Ayahnya, dia juga hendak mecari ikan untuk dia makan. Agar jika
memang Ayahnya telah tiada, dia tidak memikirkan keinginan Ratih untuk makan
ikan, walau bukan hasil tangkapan Ayahnya.
“Ayah..
maafkan Ratih! Maafkan Ratiih ayaaaaaaahhhhhhhh!!!!!” teriakan Ratih memecahkan
keheningan di laut ang telah mengambil nyawa Ayahnya itu.