Mengenai Saya

Foto saya
Ketika sebuah kalimat yang keluar dari mulut tak bisa didengarkan oleh orang lain. Maka Menulislah, disitu Anda akan dikenang sepanjang usia Anda, karena mungkin kata-kata yang keluar dari mulut tak bisa mengubah seseorang, tetapi tulisan yang dibaca berulang bisa menjadi pengaruh untuk seseorang. Maka Menulislah!

Senin, 18 Juni 2012

Ayah Tak Akan Kembali, Nak!


“Ibu.. hari ini masak apa? Aku sudah lapar nih…” celoteh Riska membuar Ibu menoleh sejenak dari kesibukannya di dapur.
            “Hari ini Ibu masak sayur lodeh dan tempe goreng Nak. Tunggu saja ya, sebentar lagi masakannya matang nih” sambil mengaduk-aduk sayur lodeh yang ada di panci tiba-tiba Riska telah bergelayutan di samping Ibunya dan membuat Ibunya sedikit kegok.
            “Sayang.. ayo duduk dulu. Ibu tak bisa memasak kalau kamu bergelayutan seperti itu.”
            Pagi itu langit tampak cerah, semilir air membelai wajah setiap insan yang berada di tepi pantai itu. Semerbak bau asin yang berasal dari pantai tercium menyengat. Ibu Niar—Ibu dari anak dua bersaudara ini—Riska dan Ratih, bersiap-siap untuk menemani suaminya—Pak Umar, bernelayan di pagi hari itu. Keluarga mereka merupakan keluarga yang bermatapencaharian sebagai nelayan.
            Hari ini laut Nampak bersahabat, cuacapun mendukung laut untuk bersahabat dengan setiap insan yang tengah melakukan aktivitas di sekitar laut. Kota Meulaboh, merupakan salah satu kota yang berada di tepi laut. Disana terdapat banyak desa, salah satunya adalah desa Tenggulung—desa yang menjadi habitat keluarga Pak Umar.
            “Ayah… kapan ya kita bisa makan enak? Aku ingin sekali rasanya hasil tangkapan ikan Ayah kita makan untuk malam ini saja.” Ratih memecahkan kesibukkan ayahnya dalam mempersiapkan alat-alat untuk menangkap ikan. Anak pertama dari pernikahan Pak Umar dan Bu Niar ini memang sejak lama ingin sekali mencicipi hasil tangkapan ikan Ayahnya. Tapi dia menyadari bahwa jika ikan hasil tangkapan Ayah tidak dijual, maka dari mana dia dan adiknya bisa bersekolah.
            “Nak… sabar ya. Kalau sudah rejeki kita pasti bisa makan ikan, tidak usah makan sayur dan tahu atau tempe goring lagi. Kamu sabar ya Sayang..” Ayahnya membelai lembut kepala anaknya itu.
            Tak lama setelah ayahnya selesai menyiapkan peralatan untuk bernelayan, tiba-tiba terdengar suara teman bernelayannya—Pak Imam.
            “Pak Umar… Pak Ummaaarrrrr… Pak Umaarr keluarlah cepat”
            “Iya Pak ada apa?” Pak Umar tergopoh-gopoh berlari menuju sumber suara yaitu di bibir pintu yang segera menunjukkan batang hidungnya agar Pak Imam tidak berdendang dengan suaranya yang sudar mulai bergetar karena dimakan usia.
            “Ayo Pak cepat kita ke tepi pantai, disana banyak ikan. Kita tak perlu bersusah payah untuk mencari ikan ke tengah laut. Ayo Pak Umar cepat!” tanpa mendengarkan konfirmasi dari Pak Umar, Pak Imampun segera mengambil langkah seribu.
            “Bu… Ibu… ayah pergi dulu ya. Ibu tunggu sini saja ya. Ayah tak akan lama bernelayan hari ini. Jadi lebih baik Ibu beres-beres rumah saja.” Pak Umar pun pamit setelah mencium kening sang istri.
            “Ayah hati-hati yaaaa…” setelah anak-anaknya mencium tangan Ayahnya itu, Ayahnya pun pergi.
            “Assalamu’alaikum…”
            “Wa’alaikumsalam warohmatullah…”
            Setiap langkah yang ditempuh oleh Suaminya Bu Niar itu, nampaknya terasa berat sekali. Terlihat dari raut wajah Pak Umar. Saat telah menempuh beberapa langkah, dia menengokkan kepalanya untuk melihat keadaan rumah dan keluarganya lalu melemparkan senyum yang paling indah.
            Setelah melambai-lambaikan tanganya ke Suaminya itu, Ibu Niarpun masuk ke dalam rumah. Karena hari itu hari libur, maka Ibu Niar dan anak-anaknya berkumpul di dalam rumah dan merasakan hari libur dengan sukacita.
            Entah mengapa hari itu dia Nampak cemas melepaskan kepergian Suaminya. Mungkin karena tak biasanya Suaminya pergi bernelayan seorang diri. Setelah menghilangkan segala pikiran negative mengenai Suaminya itu, Ibu Niarpun melanjutkan pekerjaan rumahnya.
            ***
            Hari ini tepatnya tanggal 26 Desember, 2004.
Suasana keceriaan benar-benar tergambarkan di Desa Tenggulung, Meulaboh. Anak-anak berlari-larian di tepi pantai dengan telanjang kaki. Pasar yang biasa menjadi tempat Ibu Niar dan Suaminya berjualan ikan juga sudah Nampak ramai dengan transaksi tawar-menawar.
            Ternyata keceriaan itu tidak bertahan lama, tiba-tiba bumi terguncang. Semua anak-anak menjerit ketakutan. Suara gemuruh menambah kepanikan dipagi hari yang telah berselimut dengan ketakutan. Gemuruh itu semakin terasa di telinga yang membuat telinga semakin sakit. Suara tangis mulai terdengar dari setiap nafas.
            Awan hitam pekat pun mulai menyelimuti kota Meulaboh. Gempa itu masih terasa sangat kencang dan telah sukses menghancurkan beberapa rumah. Tangisan anak kecil yang dikarenakan tak bertemu dengan Ibunya menambah ketegangan suasana pada waktu itu. Jeritan, tangisan, teriakan, semua menjadi satu. Pohon-pohon seakan tak mau menerima kedatangan insan yang menumpanginya, pohon it uterus menggoyang-goyangkan tubuhnya karena gempa yang benar-benar hebat.
            Setelah sepuluh menit berlalu, gempa itupun terhenti. Nafas lega telah terdengar di setiap hembusan. Ibu Niar masih dalam keadaan mendekap kedua anaknya itu. Dia benar-benar tak bisa tenang karena memikirkan Suaminya yang masih dalam keadaan mencari nafkah.
            Sekitar beberapa menit setelah itu, air laut menyurut seakan kering karena sinar matahari. Gempa yang telah membuat panik segelintir orang itu cukup membuat semua nafas terasa takut. Tetapi ketakutan itu telah surut kembali setelah melihat sanak saudara telah berada di dekat mereka.
            Ikan-ikan terus bergelimpangan tak tentu di pasir pantai. Nelayan-nelayan masih sibuk memunguti ikanikan itu karena tak usah bekerja sampai larut malam untuk mendapatkan banyak ikan.
            Tiba-tiba air laut memuntahkan isi perutnya dengan tatapan sinis ke setiap insan yang berada di tepi laut itu. Air menyapu segala yang ada dihadapannya.
            “Ayaaaaaaaahhhhhhhhh….” Nampak teriakan Ibu Niar terngiang di telinga Suaminya—Pak Umar yang telah tidak tersadarkan. Gempa dan tsunami berkekuatan 8.3 SR telah menyapu dan meratakan semua yang ada di wilayah Meulaboh dan sekitarnya. Ibu Niar dan kedua anaknya telah melindungi diri didalam masjid besar yang telah menampung banyak orang itu.
            ***
            Tsunami telah berakhir. Masjid yang menjadi pelindung dari banyak insan itu masih tetap berdiri kokoh. Subhanallah! Tangisan masih terdengar, rintihan karena luka yang didertia tak seberapa sakitnya disbanding kehilangan sanak saudara.
            “Ibu.. ayah mana Bu?” Tanya si kecil Riska yang masih bingung karena baru terbangun dari tidur lelapnya di gendongan Ibunya itu. Setelah sarapan pagi tadi, Riska terlelap.
            “Ibu.. kenapa ka Ratih nangis Bu? Kok disini banyak orang sih Bu? Bu? Kenapa pada nangis sih Bu? Ibu kenapa?” ocehan si kecil membuat Bu Niar menyinggungkan senyuman kecil nan perih itu.
            “Gak ada apa-apa kok Nak, tadi gimana tidur kamu?” Bu Niar menahan tangis dan beusaha untuk tidak membuat anaknya takut karena keadaan yang tealh menimpa sekeluarga.
            “Udah deh de! Kamu diam dulu kenapa sih?!” Ratihpun buka mulut karena melihat tingkah adiknya yang polos itu.
            “Ratih!” ibu Niar membentak anaknya itu sambil memelototi anak sulungnya itu.
            “Ibu.. ka Ratih kok jadi galak sih?” Riska mengumpat dibalik badan Ibunya itu.
            ***
            Malam itu terasa sepi karena disamping Ibu Niar sudah tak Nampak Suaminya. Ternyata senyuman yang dilemparkan Suaminya tadi pagi adalah senyuman terakhir. Ratih pun Nampak menyendiri, dia merasa bersalah karena permintaannya tadi pagi. Ratih pun beranjak untuk pergi ke laut.
            “kamu mau kemana Nak?” Ibu Niar memerhatikan anaknya yang hendak pergi.
            “Ibu disini saja, aku mau mencari Ayah..”
            “Sayang.. istirahat dulu, kamu pasti capek dan pusing. Sudah biar timsar yang akan mencari Ayah. Sudah ya.. kamu sini sama Ibu” sambil mengajak anaknya menuju tenda evakuasi, tetapi Ratih menolak dan bersikeras untuk mencari Ayahnya. Akhirnya Ibunyapun mengizikan anaknya itu.
            Dalam keheningan malam, Ratih masih menangis dalam diam. Tangis yang begitu pilu. Hembusan semilir angin Nampak membuat Ratih bertambah sedih. Selain bermaksud untuk mencari Ayahnya, dia juga hendak mecari ikan untuk dia makan. Agar jika memang Ayahnya telah tiada, dia tidak memikirkan keinginan Ratih untuk makan ikan, walau bukan hasil tangkapan Ayahnya.
            “Ayah.. maafkan Ratih! Maafkan Ratiih ayaaaaaaahhhhhhhh!!!!!” teriakan Ratih memecahkan keheningan di laut ang telah mengambil nyawa Ayahnya itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar