Sepulangnya saya dari Palembang pada tempo hari, saya
tiba-tiba mengingat peristiwa kecil yang pernah saya alami pra keberangkatan
saya ke Palembang—saya mengingat perkataan adik saya yang bukan main
mengkhawatirkan. Saat itu, selama perjalanan dari hotel menuju bandara sultan Mahmud
baddaruddin II—selama itu pula saya memikirkan perkataan adik saya.
Sesampainya di bandara Palembang, saya bersama rekan saya
yang lainnya menunggu keberangkatan pesawat menuju Jakarta dengan mengambil
beberapa gambar sebagai kenang-kenangan pernah menuju Palembang terutama
bandara yang ada di Palembang. Sayapun sangat menikmati moment tersebut tanpa
memikirkan perkataan adik saya.
Saat pesawat sriwijaya Air siap untuk diberangkatkan menuju
ke Jakarta, saya dan rekan-rekanpun menyudahi proses pengambilan foto di
bandara. Saat berada di dalam pesawatpun kami dihimbau untuk tidak menaktifkan
segala bentuk komunikasi apapun agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Detik-detik sebelum pesawat depart, tiba-tiba terdengar pengumuman
bahwa ada salah satu penumpang yang tidak patuh terhadap peruaturan, beliau
masih mengaktifkan handphone-nya. Langsung saja petugas pesawat memberikan
pengumuman untuk terakhir kalinya agar menonaktifkan segala bentuk komunikasi.
Pesawatpun mulai berangkat dan awalnya saya merasa nyaman,
walau sedikit risih dengan suara bising yang ditimbulkan dari pesawat. Sempat terpikirkan
oleh saya bahwa pesawat yang sat ini tengah saya tumpangi adalah sudah tua,
karena kabin-kabinnya mulai menghitam dan suara bising yang ditimbulkan
menambah presepsi saya bahwa pesawat tersebut sudah tua, karena saat saya
melakukan perjalanan pergi menuju ke Palembang dengan menggunakan pesawat Lion
Air, saya tidak mendengar suara bising yang timbul dari pesawat dan
perjalanannya saya cukup nyaman pada saat berangkat menuju Palembang.
Setelah empat puluh lima menit berada di dalam perjalanan
menuju Jakarta, tiba-tiba terdengar pengumuman bahwa keadaan cuaca sedang buruk
dan bagi para penumpang dilarang menggunakan toilet dan diperintahkan untuk
mengenakan sabuk pengaman. Saat itu saya mulai sedikit panik dan menengok ke
arah rekan saya meminta sedikit motivasi agar tidak takut karena pesawat sudah
mulai miring ke kanan dan ke kiri lalu pesawat terbang dengan tidak sangat baik—ibarat
mobil yang sedang melaju di jalan yang sangat rusak parah dan banyak bebatuan
besar di jalan tersebut. Ya seperti itulah.
Tepat pukul 11.15 pesawat mulai guncang dan saya hanya bisa
bershalawat didalam pesawat tidak henti-hentinya. Air mata mulai menggenang,
teringat akan semua dosa-dosa, teringat perkataan adik saya saat saya belum
berangkat menuju Palembang. Teringat akan semua kesalahan saya yang mungkin
belum termaafkan dihati teman-teman sekalian. Saya mulai berpikir “akankah saya
selamat sampai Jakarta?” saat itu teringat ibu saya yang memang sedikit ragu
melepaskan saya pra saya menuju Palembang untuk lomba akuntansi tersebut.
Saat itu pengalaman yang kedua kalinya saya naik pesawat
(pertama kalinya saat keberangkatan menuju Palembang) dan saya terus
bershalawat meminta kepada yang Kuasa agar tidak terjadi hal buruk terhadap
diri saya dan penumpang yang lain. Pesawat terus berguncang tak henti-hentinya
selama kurang lebih lima belas menit. Seluruh Penumpang Sriwijaya Air pun melantunkan
kalimat-kalimat Allah dan ada yang teriak lalu ada yang terloncat dari seat-nya
karena guncangan yang begitu hebat. Hal itu membuat saya semakin takut.
Saat itu rasanya seperti mimpi, tetapi itu nyata. Saat guncangan
mulai sedikit mengurang, pesawat mulai terbang dengan sedikit tenang tetapi
saya tidak berhenti untuk berhalawat karena terkadang pesawat berguncang kembali tetapi
tidak separah sebelumnya. Ingin menangis dan segera menelpon Ibu rasanya pada
saat itu tetapi mengingat bahwa didalam pesawat tidak boleh mengaktifkan segala
bentuk komunikasi maka sayapun hanya terdiam didalam ketakutan yang luar biasa.
Saya tak henti-hentinya mengucapkan kalimat Allah walau
pesawat mulai terbang dengan baik. Semua penumpang muali merasa tenang tetapi
tidak dengan saya. Wajah saya yang tadinya memucatpun mulai sedikit tenang
karena rekan saya memberikan senyuman ikhlas seperti mengisyaratkan semua akan
baik-baik saja.
Detik-detik menuju landing, sayapun mengucap syukur karena
masih diberi umur untuk menikmati kehidupan yang tak terhingga keberkahannya. Tetapi
saat pesawat mulai landing, ternyata landing yang sangat buruk karena lagi-lagi
ada penumpang yang terloncat dari seat-nya. Saya juga sedikit berteriak
mengucap istighfar, landing yang menakutkan! Pikir saya pada saat itu. Tetapi Alhamdulillah
saya selamat sampai tujuan. Mungkin ALLAH menegur saya untuk lebih banyak
bersyukur dalam setiap saat dan sayapun selamat dari (yang saya bilang) maut. Alhamdulillah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar