Malam ini langit tampak bertaburan dengan
bintang dan cuacapun mendukung insan-insan yang dapat tidur dengan nyenyak di
kasurnya yang empuk. Sepertinya langit memang tak bersahabat denganku, karena
tak merasakan kepedihanku dimalam yang menurutku tak punya hati ini, aku masih
termenung di depan sebuah toko yang telah tutup dari satu jam yang lalu. Hanya
terdiam tanpa suara, hanya angin dan debu yang menemaniku dimalam yang sial
ini.
Lagi-lagiku menyesali ketidakadilan hidup
dimuka bumi ini, seandainya aku dihadapkan pada pilihan saat ini yaitu hidup
atau tak diciptakan sama sekali, pasti aku lebih memilih untuk tidak diciptakan
di dunia yang penuh dengan sandiwara dimana-mana. Aku benci panggung sandiwara
yang menghadapkan peran yang sial untuk diriku ini. Tapi apalah daya, hidup
dijaman yang bebas berpendapat, ya memang bebas berpendapat tapi tak pernah
didengar pendapat kita oleh mereka yang seharusnya mendengar pendapat kita.
Kejam memang, tapi inilah hidup di kota metropolitan yang penuh dengan
kesesakan dimana-mana, sesak akan himpitan ekonomi, sesak akan himpitan sosial,
sesak akan himpitan politik dan sesak-sesak yang lain.
Mungkin mereka tak akan pernah peduli
dengan kehidupanku, tapi mengapaku selalu peduli dengan kehidupan mereka. Yang
aku pedulikan adalah ‘mengapa mereka tidak peduli terhadapku’? tapi nampaknya
tak ada yang bisa mempedulikanku, mereka yang kuanggap bisa sekalipun tak
pernah melakukannya kepadaku. Aku benci kehidupan ini, ya sangat benci! Mengapa
Dia memberikan takdir yang tak baik terhadap diriku? Harus mencari serpihan
hidup dipinggir jalan dan membiarkan mereka yang terus menikmati jatahku dikursi empuk.
Mengharapkan sesama manusia memang tak ada
gunanya, malah aku terus merasakan kekecewaan yang mendalam karena harapan yang
tak pernah ada hasilnya. Tak pernah kurasakan memegang nominal uang lebih dari
sepuluh ribu? Bayangkan? Merasakan memegangnya saja ku tak pernah! Memang
sangat sial hidupku ini, dan yang lebih sialnya lagi adalah aku hidup di Kota
yang Sial! Kota dimana setiap nafas yang melewati kaum jelata tak pernah
memperhatikan sedikitpun keadaan kami, aku merasakan kepedihan teman-temanku.
Sedikit bersyukur mungkin, mengapa? Karena aku masih bisa memberikan
kebahagiaan kepada mereka yang memiliki nasib yang tak jauh beda denganku. Aku
memang sedikit bersyukur! Karena tak ada yang mempedulikanku dan menjelaskanku
apa itu bersyukur. Yang ku tahu bersyukur itu adalah mengucap ‘alhamdulillah’.
Dasar memang hidupku yang sial dan akan selalu sial.
Hidup tanpa kasih sayang orang tua menambah
kesialan dan penyesalanku ada di dunia ini. Aku meratapi nasibku yang tak ayal
setiap hari yang kulakukan hanya itu dan itu. Aku telah lelah, rasanya ingin
kutemui Tuhan yang memberikan nasib yang tak baik untuk diriku. Apa yang harus
kulakukan untuk menemukan ketidaksialan itu? Apakah harus memakan jatah orang
lain? Apakah harus menindas kaum bawahan? Ataukah harusku bertemu dengan
pemilik dunia? Rasanya tak mungkin, karena hingga detik ini saja aku masih bisa
bernapas dengan bebas tanpa ganggungan dari paru-paruku.
Mungkin Tuhan tak akan pernah memberikan
penghidupan yang layak untuk diriku yang hina dan penuh dengan dosa, tapi
apakah salah bahwa aku sangat memimpikan bisa mendapati kedudukan yang dapat
membuatku nyaman dan tak banyak bertanya tentang ketidakadilan ini. Siapakah
yang dapat menuntunku untuk mendapatkan keberuntungan? Mungkin dengan bermain
kartu dengan taruhan uang yang banyak, lalu dengan keberuntungan itu aku akan
menjadi kaya? Mungkin! Dasar kota Sial!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar